KELAHIRAN
KH. Muhammad Yunus atau yang kerap dipanggil dengan
sapaan Mu’allimin Yunus lahir di Jakarta pada 31 November 1914. Beliau adalah
anak dari pasangan KH. Muhammad Sholeh dan Napsiah.
Ibunya adalah seorang guru agama bagi hampir seluruh warga
betawi di bukit duri dan sekitarnya pada saat itu, dengan sapaan akrab guru
Nap. Sang ibu adalah tokoh masyarakat yang sangat disegani. Dari perempuan
inilah kemudian lahir banyak Ulama dan Habaib berdarah betawi di Bukit Duri
Jakarta.
Termasuk salah satunya adalah keluarga Habib Abdurahman Bin Ahmad bin Abdul qodir Assegaf, Karena
Habib Abdurahman menikah dengan H. Barkah, yang tak lain adalah cucu dari Guru
Nap. Sehingga seluruh putra Habib Abdurahman, yang saat ini juga menjadi ulama,
pun tak lain keluarga besar Guru nap, ibunda dari Mu’allimin Yunus.
WAFAT
Senin sore dibulan Dzulqad’dah 1415 H/Mei 1995, menjelang
wafatnya Mu’allim Yunus yang sedang sakit keras, mengatakan kepada keluarganya
bahwa beliau ingin bertemu dengan Habib Abdurahman Assegaf, atau yang biasa disapa Al-walid.
Sebelum keluarganya menyampaikan pesan itu, rupanya hubungan
bathin di antara keduanya telah membawa langkah kaki Al-walid untuk segera
menemuinya, seakan Al-Walid telah mendengar pesan Mu’allim Yunus.
Sesampainya di kamar Mu’allim Yunus, keduanya
berbicang-bincang empat mata. Kemudian tak lama Al- Walid keluar dari kamar dan
mengatakan kepada keluarganya agar segera mempersiapkan segala sesuatunya,
karena waktunya sudah tidak lama lagi.
Jum’at dini harinya, sekitar pukul tiga malam. Beliau
mengatakan kepada Mu’allim Yunus agar menyampaikan pesan kepada muridnya KH.
Abdullah Syafi’i, supaya bersedia menjadi imam dalam salad jenazah bagi dirinya.
Untuk menyampaikan amanah itu, Mu’allim Yunus agak ragu,
karena sudah ramai berita yang mengatakan KH. Abdullah Syafi’i akan segera
pergi menunaikan ibadah haji.
Maka tanpa menunda-nunda H.Yunus segera mendatangi rumah KH.
Abdullah Syafi’i dan menyampaikan pesan Mu’allim Yunus. KH. Adbullah Syafi’i
menerima pesan itu sebagai isyarat bahwa wafatnya Mu’allim Yunus memang sudah
dekat sangat dekat, oleh karenanya iapun tak ragu menunda keberangkatannya.
Dengan tegas KH. Abdullah Syafi’i menjawab “ ya, insya Allah
bisa”. Kabar tentang akan wafatnya Mu’allim Yunus sudah menyebar kemana-mana
sehingga Jum’at pagi itu rumahnya dipenuhi orang banyak.
Hampir semua Ulama besar di Jakarta berkumpul di rumah
Mu’allim Yunus, mendampinginya dengan mengaji dan membacakan surah yasin dan
yang lainnya saat itu, Al-Walid tidak tampak di tengah-tengah mereka dan
Mu’allim Yunus pun sudah tidak dapat berkata apa-apa.
Ketika waktunya hampir dekat Al-walid tiba-tiba datang dan
memberikan aba-aba untuk seluruh yang hadir agar bersama-sama membacakan tahlil dengan
dipimpin oleh Al-walid sendiri. Anehnya Mu’allim Yunus, yang sedari tadi tidak
dapat berkata apa-apa, seketika ikut bertahlil bersama dengan suara yang cukup
jelas terdengar.
Tidak lama, setelah kalimat tahlil di
baca berulang-ulang secara bersama-sama sekitar lima menit, Mu’allim Yunus pun
menghembuskan nafasnya yang terakhir selasa sore 30 Dzulqad’dah 1415 H / 30 Mei
1995, pukul 16.00 WIB, Mu’allim penyejuk hati umat ini kembali keharibaan
Ilahi. Jenazahnya dimakamkan disamping mihrab Mesjid Al-Makmur Jalan KH.
Abdullah Syafi’I, Tebet, Jakarta Selatan.
PENDIDIKAN
Setelah dididik dalam lingkungan keluarga yang penuh nuansa
keilmuan, terutama dari tangan dingin sang ibu, Mu’allim Yunus melanjutkan
pelajarannya kepada guru Marzuki inilah dirinya semakin terbentuk sehingga
menjadi ulama besar pada beberapa dekade silam.
TELADAN KESABARAN MU'ALLIM YUNUS
Hampir semua masalahnya yang ada dihadapinya dengan penuh
kesabaran, kesabarannya tidak mengenal waktu dan tempat.
Kepada murid-muridnya, maupun di tengah keluarganya.
Walhasil, dalam kondisi apapun ia dapat tetap tampil sebagai seorang yang
disegani, karena kesabarannya yang luar biasa tinggi. Suatu ketika sepeda yang
iya gunakan di pengadilan agama hilang di curi orang.
Sedikitpun tak keluar dari lisannya kata-kata keluhan apalagi
celaan untuk orang yang mengambil sepedanya. Di tengah perjalanan pulang
seseorang yang sering melihat ia menaiki sepeda bertanya. Dengan ringan dia
menjawab ”Ada yang pinjam”.
Pada kisah lain, yang menceritakan tentang kesabarannya.
Kisah tersebut diawali dengan dua bulan beras jatah bulanan
dari kantornya tidak ia ambil. Setelah lewat dua bulan, salah seorang karyawan
lainya mengatakan, “Mu’allim berasnya kok gak diambil-ambil, saya bawa ke rumah
ya.?” Mu’allim langsung mempersilahkannya.
Setelah beberapa hari istri Mu’allim mulai gusar dan emosinya
meninggi, bahkan sampai marah-marah. “Belajar bisa marah ma orang, jatah
beras dua bulan diambil diem aje!!!”
Mu’allim tetap tenang dan tidak melayani kemarahan sang
istri, bahkan ia menjawab “berarti itu bukan rizki kita, insya allah nanti
ada gantinya.”
Tak berapa lama murid terdekatnya datang. H. Yunus mendengar
ada sedikit kegaduhan di rumah itu, si murid memberanikan diri untuk bertanya
gerangan apa yang terjadi. Istri Mu’allim menjawab ”Ni…guru lu, beras
jatah dua bulan diambil, didiemin aje.”
Spontan sang murid berinisiatif menjawab,”O..beras yang itu
ada di rumah saya, nanti saya ambilin” Bergegas H. Yunus berangkat ke
pasar dan membeli dua karung beras, dan langsung diantarnya ke rumah Mu’allim.
Di keluarganya, Mu’allim juga mendidik anak-anaknya dengan
penuh kesabaran. Salah seorang putranya, Ustadz Muhammad yang saat ini
meneruskan jejak dakwahnya mengatakan, ”orang tua saya tidak pernah ada
marahnya sama sekali kepada anak-anaknya, bertolak belakang dengan ibu yang
amat tegas,” Ujar anaknya.
Di samping sabar, beliau juga sosok orang tua yang sangat
perhatian dengan keluarga besarnya. Sering kali beliau membeli makan dalam
jumlah yang agak banyak untuk kemudian di bagikan kepada kerabatnya yang
tinggal di Bukit Duri. Meski sudah menjadi sosok yang sangat dihormati ketika
itu, namun beliau tidak segan-segan untuk menghampiri rumah kerabatnya satu
persatu, begitu pula bila menjelang lebaran, hampir semua kerabatnya mendapat
hadiah darinya berupa sarung, baju atau bingkisan lainya. Padahal beliau
sendiri bukan orang yang berlebih, melainkan orang yang hidup dengan penuh
kesederhanaan.
Saat tekanan penjajah Belanda sedang keras-kerasnya di
wilayah Bukit Duri dan sekitarnya, seluruh ulama yang berdiam di sana sempat
angkat kaki dari wilayah itu, dan pindah ke kampung lain. Tapi tak demikian
halnya dengan Mu’allim Yunus beliau tetap bersabar menetap dirumahnya, meskipun
sempat ada suara-suara miring tentang dirinya karena pilihannya yang tetap
untuk tidak pindah.
Rupanya hal itu dikarenakan perhatiannya yang sangat mendalam
terhadap masyarakatnya yang masih tetap tinggal di sana. Katanya pada waktu
itu, “kalau saya ikut pindah juga, lalu kalau di sini ada yang berzina
karena tidak ada yang menikahkan atau tidak ada yang mengajarkan akhlak kepada
mereka, bagaimana?”
MENJADI KETUA PENGADILAN AGAMA
Lantaran keahliannya, tidaklah aneh bila pada waktu hampir
seluruh acara keagamaan dan kemasyarakatan di wilayah Bukit Duri diselesaikan
lewat keputusannya. Karena keahliannya itulah ia dipercaya untuk memangku
jabatan ketua pengadilan agama Jakarta selatan, bahkan kemudian untuk lingkup
Jakarta. Pada masa itu, posisi strategis ketua pengadilan agama tidak diduduki
oleh pejabat karier seperti saat ini, tapi dipercaya kepada seorang ulama yang
memang diakui kedalaman ilmunya.
Sebelum Mu’allim Yunus yang menjabat posisi itu adalah KH.
Abdul Hamid. Saat ia bertemu Mu’allim Yunus yang kemudian ia dengar akan masuk
dijajaran pengurus pengadilan agama pada waktu itu, spontan ia mengatakan mulai
minggu besok Mu’allim Yunus yang akan memimpin pengadilan agama ini. Di mata
para ulama di masanya, ia juga memiliki kedudukan yang istimewa.
Guru Mansur Jembatan Lima, seorang ulama besar tempo dulu di
Jakarta misalnya, pernah mewasiatkan, bila beliau wafat, hendaknya orang-orang
yang biasa mengaji padanya melanjutkan pelajaran kepada Mu’allim Yunus.
Bahkan KH Abdullah Syafi’i pernah mengatakan bahwa gurunya
Mu’allim Yunus adalah gurunya yang pertama kali, yang telah banyak membentuk
dirinya, sebelum ia mengenal dan berguru kepada guru lainnya. Selain alim,
sebagimana para ulama jaman dahulu, ia juga memiliki ke istimewaan dalam hal
spiritual.
KAROMAH MU'ALLIM YUNUS
H. Yunus murid terdekatnya pernah bertanya kepadanya
bagaimana gambaran tentang Lailatul Qodar. Saat ditanya hal itu Mu’allim Yunus
sempat seperti tak dapat berkata, lantaran sulit menggambarkan keagungan malam
itu. Selang beberapa saat ia menjawab dan bercerita, pada suatu malam di bulan
ramadhan, sepulangnya ia dari masjid di tengah malam, sesampainya ia di rumah
ia kaget menyaksikan keagungan malam itu, ternyata rumahnya menjadi terang
benderang.
Dan ia segera mengambil air wudhu menuju sumur dekat
rumahnya, kemudian ia kembali dikagetkan karena sumur yang biasanya di timba
untuk mengambil airnya, di malam itu menjadi luber dan melimpah ruah. Hingga
untuk mengambilnya ia cukup mencidukan gayung dengan tangannya. Rupanya malam
itu ia memperoleh anugerah Lailatul Qodar.
Post a Comment