Habib Thohir mendapatkan pendidikan agama dari ayah, Habib Abdullah Al-Kaff, yang dikenal sebagai ulama senior di Jawa Tengah. Kemudian mengenyam pendidikan SD dan SMP Al-Khairiyah di Tegal.
Baru pada tahun 1980, menjadi santri Sayid Al-Maliki di Pesantren Al-Haramayn asy-Asyarifain Makkah. Dia menjadi santri selama enam tahun bersama adiknya, Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaff. Habib Hamid kini dikenal sebagai mubalig dan pemimpin Pondok Pesantren Al-Haramayn asy-Asyarifain, Jalan Ganceng, Pondok Ranggon, Cilangkap, Jakarta Timur.
Pulang ke Indonesia tahun 1986, Habib Thohir langsung terjun ke bidang dakwah, dan pernah juga menjadi ustaz di beberapa pesantren. Kini, meski berkeluarga di Pekalongan, dia lebih banyak membina umat di Tegal, khususnya di Masjid Zainal Abidin.
Di masjid yang terletak di Jalan Duku Tegal itulah, dia mengadakan majelis taklim yang diberi nama "Majelis Taklim Zainal Abidin".
Dia berharap, pesantren Zainal Abidin, yang sejak lama digagasnya akan bisa dibangun di Tegal. Sebab, sudah banyak orangtua yang ingin menitipkan anaknya kepada pesantren itu. Namun, cita-citanya itu tampaknya masih akan lama terwujud, sebab sekarang jadwal berdakwahnya masih padat.
Memiliki postur tubuhnya yang tinggi tegap saat di mimbar, dai yang satu ini bak singa podium. Ceramahnya berapi-api, membakar semangat jama’ah. Terkadang nada suaranya baik air yang mengalir deras, penuh ketegasan. Gaya berdakwah dai yang satu ini memang sangat khas, suara bariton yang berat dan dalam.
Memang orasinya terkesan galak, penuh nada kritik tetapi bertanggung jawab. Sesekali dalam ceramahnya, ia menyelipkan canda-canda yang segar. Sehingga, dalam tiap pengajian yang diisi olehnya, ribuan jemaah betah mendengarkan sampai acara pengajian berakhir.
Mengenakan baju koko putih dan bersarung, demikian tampilan sederhana habib yang sebagian besar waktunya habis untuk berdakwah ini.
Hampir dalam berbagai dakwah, entah dalam kesempatan majelis taklim, haul, ataupun seminar, dia selalu memperingatkan beberapa kesesatan yang dilancarkan kepada kaum muslimin di Indonesia. Sebab, Islam di Indonesia, menurutnya, adalah Islam warisan Walisanga, yaitu Ahlusunnah wal Jamaah, bukan Syiah maupun Ahmadiyah, misalnya.
Nama Habib Thohir lebih banyak dikenal oleh kaum muslimin yang tinggal di pelosok-pelosok desa. Karena, dia lebih senang berdakwah di daerah-daerah, bahkan masuk di pedesaan.
Habib Thohir juga mengharapkan, para ulama dan cendekiawan mempunyai sikap dan kepedulian untuk membentengi umat Islam dari kerusakan akidah. Kepada sesama Ahlussunah wal Jamaah, diharapkan tidak perlu lagi berdebat soal furu’iyyah atau masalah cabang-cabang agama, seperti tahlil, Maulid, haul, dan lainnya.
Post a Comment