Cerita Karomah Kiai Shaleh Darat Dari Bangkalan


Muhammad Shaleh ibn Umar Al-Samarani atau Kiai Shaleh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar tahun 1820/1235 H.

Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia acap menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad Shalih ibn Umar Al-Samarani. 

Pemberian nama Darat diselempangkan ke pundak beliau karena tinggal di kawasan dekat pantai utara Semarang, yakni tempat berlabuhnya orang-orang dari luar Jawa. 

Kini, nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.

KH. Shaleh Darat merupakan sosok ulama yang memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara Jawa, khususnnya di Semarang. 

Ayahnya yaitu KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa. 

Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Shaleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu’in, Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).

Kiai Shaleh Darat menimba ilmu di pesantren-pesantren pada zamannya, ia banyak berjumpa dengan kiai-kiai mashur yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu batin, dan kemudian menjadi gurunya. 

Di antara nama kondang tersebut salah satunya adalah KH M Sahid yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama asal Desa Kajen, Margoyoso, Pati Jawa Tengah yang hidup di zaman Mataram Kartosuro pada sekitar abad ke-18. 

Dari Syaikhnya itulah, ia belajar beberapa kitab fiqh, seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim dan, Syarh al-Khatib. Terdapat catatan bahwa, karena kitab-kitab tersebut bukanlah kelas” pengantar, maka mempelajarinya tak pelak membutuhkan waktu relatif lama.

Safari perjalanan keilmuannya berlanjut kepada Kiai Raden Haji Muhammad Salih ibn Asnawi, di Kudus. Dari padanya beliau mengkaji Kitab Al-Jalalain al-Suyuti. 

Di Semarang beliau mendalami nahwu dan sharaf dari Kiai Iskak Damaran, kemudian belajar ilmu falak dari Kiai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni. 

Berlanjut kepada Ahmad Bafaqih Balawi demi mengkritisi kajian Jauharah at-Tauhid buah karya Syaikh Ibrahim al-Laqani dan Minhaj al-Abidin karya Al-Ghazali. 

Masih di kota lumpia, Semarang, Kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad al-Misri, sebuah depiksi tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke-19 dicernanya dengan tuntas dari Syaikh Abdul al-Ghani.

Tak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau, nyantri kepada Kiai Syada’ dan Kiai Murtadla pun dijalaninya yang kemudian menjadikannya sebagai menantu. 

Setelah menikah, Shaleh Darat merantau ke Makkah, di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syekh Muhammad al-Muqri, Syekh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi.

Kemudian Sayyid Muhammad Salen ibn Sayyid Abdur Rahman az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar asy-Syami, Syekh Yusuf al-Mishri dan lain-lain. 

Karena kecerdasan, kealiman dan keluasan ilmu serta kemampuannya, akhirnya Mbah Shaleh mendapat ijazah dari beberapa gurunya untuk mengajar di Mekkah.

Selama di Mekah ini beliau didatangi banyak murid, terutama dari kawasan Melayu-Indonesia. Beberapa tahun kemudian Mbah Shaleh kembali ke Semarang karena ingin berkhidmat kepada tanah airnya. 

Beliau kemudian mendirikan pesantren di kawasan Darat, Semarang dan karenanya beliau dikenal sebagai Kyai Shaleh Darat. 

Kepada murid-muridnya, Mbah Shaleh Darat selalu menganjurkan agar mereka giat menuntut ilmu. 

Menurut beliau inti alquran adalah dorongan kepada umat manusia untuk menggunakan seluruh potensi akal-budi dan hatinya guna memenuhi tuntutan kehidupan dunia dan akhirat. Beberapa santri seangkatannya, antara lain KH. Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan.

Sepulang dari Makkah, Muhammad Shaleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya KH Murtadlo. 

Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat. Di pesantren inilah lahir ulama-ulama seperti, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari sang pendiri Nahdlatul Ulama, Kiai Haji Mahfuz Termas yang pakar hadis dan pendiri Pesantren Termas Pacitan.

Kemudian Kiai Haji Ahmad Dahlan sang pendiri organisasi Muhammadiyah, Kiai Haji Idris pendiri Pesantren Jamsaren Solo dan Kyai Haji Sya’ban sang ahli ilmu falak yang tersohor, Kiai Haji Bisri Syamsuri, Kiai Haji Dalhar.

Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Shaleh Darat menjadi pelopor penerjemahan Alquran ke Bahasa Jawa. 

Menurut catatan cucu Kiai Shaleh Darat, RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Alquran. 

Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Shaleh Darat. 

Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Shaleh Darat. Dalam sebuah pertemuan RA Kartini meminta agar Alquran diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. 

Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Alquran. Mbah Shaleh Darat melanggar larangan ini. 

Beliau menerjemahkan Alquran dengan ditulis dalam huruf arab gundul (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah. 

Kitab tafsir dan terjemahan Alquran ini diberi nama Kitab Faid Ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. 

Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seroang Bupati Rembang. 

Sebagai Wali Allah, Mbah Shaleh Darat juga dikenal memiliki karamah. Makamnya pun menjadi tujuan ziarah banyak orang. Salah seorang wali terkenal yang suka mengunjungi makamnya adalah Gus Miek (Hamim Jazuli). 

Meski meninggal di bulan Ramadhan, Haul Mbah Shaleh Darat diperingati setiap tanggal 10 Syawal di makamnya, yakni di kompleks pemakaman Bergota, Semarang.

Dikisahkan bahwa suatu ketika Mbah Shaleh Darat sedang berjalan kaki menuju Semarang. Kemudian lewatlah tentara Belanda berkendara mobil. 

Begitu mobil mereka menyalip Mbah Shaleh, tiba-tiba mogok. Mobil itu baru bisa berjalan lagi setelah tentara Belanda memberi tumpangan kepada Mbah Shaleh Darat. 

Di lain waktu, karena mengetahui pengaruh Mbah Shaleh Darat yang besar, pemerintah Belanda mencoba menyogok Mbah Shaleh Darat. 

Maka diutuslah seseorang untuk menghadiahkann banyak uang kepada Mbah Shaleh, dengan harapan Mbah Shaleh Darat mau berkompromi dengan penjajah Belanda. 

Mengetahui hal ini Mbah Shaleh Darat marah, dan tiba-tiba dia mengubah bongkahan batu menjadi emas di hadapan utusan Belanda itu. 

Namun kemudian Mbah Shaleh Darat menyesal telah memperlihatkan karomahnya di depan orang. Beliau dikabarkan banyak menangis jika mengingat kejadian ini hingga akhir hayatnya.

Kiai Shaleh Darat wafat di Semarang pada hari Jumat Wage tanggal 28 Ramadan 1321 H atau 18 Desember 1903 dan dimakamkan di pemakaman umum 'Bergota' Semarang, dalam usia 83 tahun.

 

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post