Mengembangkan Biodiversitas Menjadi Bioproduk Dari Tanaman Herbal

 

Ilustrasi obat herbal produk biodiversitas. Foto: Pixabay

Selain Brasil dengan hutan Amazonnya, Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati terbanyak di dunia. Jika jumlah keanekaragaman hayati atau biodiversitas laut Indonesia ikut dihitung, maka negeri ini menjadi negara pemilik keanekaragaman hayati terbesar di dunia.

Dari catatan Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), wilayah Nusantara merupakan salah satu pusat agro biodiversitas dunia dengan 10 persen spesies dari total spesies tumbuhan dunia. Jenis flora dan fauna tersebar di tujuh pulau utama Indonesia, yaitu Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Jawa masih menjadi pulau tertinggi catatan keragaman floranya. Tak lain disebabkan eksplorasi biodiversitas masih banyak dilakukan di pulau Jawa.

Dunia mulai berpaling soal keberadaan keanakeragaman hayati di Nusantara berkat jasa petualang Inggris Alfred Russel Wallace. Wallace mengumpulkan ratusan ribu spesimen flora dan fauna serta dokumentasi kekayaan bahasa, budaya, hingga peta perpindahan manusia purba yang diambil dari wilayah Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Ia menemukan teori evolusi seleksi alam atau dikenal dengan istilah Garis Wallacea setelah menjelajahi kepulauan Nusantara sejak 1854 sampai 1862.

Sebetulnya, catatan mengenai keanekaragaman hayati sudah terpatri di relief sejumlah candi maupun masuk dalam catatan kitab-kitab kuno dari kerajaan Nusantara, seperti dilakukan Wangsa Syailendra di Candi Borobudur. 

Terkait keanekaragaman fauna, sekitar 12 persen mamalia dunia (773 spesies) ditemukan di Indonesia. Spesies terbanyak terdapat di Kalimantan dan jenis spesies endemik tertinggi terdapat di Papua dan Sulawesi.

Sayangnya, status dan tren keberagaman fauna terus berpacu dengan laju kepunahan. Setidaknya, terdapat 191 spesies mamalia, 33 spesies burung, 33 spesies amfibi, 30 spesies reptil, 231 spesies ikan, 63 spesies moluska, dan 26 spesies kupu-kupu yang terancam keberadaannya. Termasuk tujuh spesies lebah madu dunia yang ditemukan Indonesia, dua jenis di antaranya endemik dan saat berstatus akan punah dan terancam.

"Tindakan harus segera diambil dalam rangka menyelamatkan biodiversitas tersebut," tutur Rosichon Ubaidillah, peneliti zoologi LIPI.

LIPI terus mengembangkan penelitian biodiversitas. Salah satunya memanfaatkan fungi atau jamur. Dede Heri Yuli Yanto, peneliti dari Pusat Penelitian Biomaterial LIPI, mengungkapkan bahwa hingga 2019, terdapat 2.273 spesies fungi yang telah diidentifikasi di Indonesia. Jumlah ini hanya sekitar 1,9 persen dari fungi yang ada di dunia. Indonesia diperkirakan memiliki 86.000 spesies fungi dari 1,5 juta–3 juta fungi dunia. Saat ini baru 120.000 spesies yang teridentifikasi.

Salah satu jamur yang diteliti LIPI yaitu White Root Fungi (WRF) memiliki potensi bioprospeksi sebagai bioproduk. WRF yang telah diidentifikasi sangat potensial untuk menghasilkan enzim lakase dalam jumlah yang sangat tinggi sehingga mampu mendegradasi pewarna pada limbah tekstil. Selain itu, Strain NG007 dari WRF mampu mendegradasi minyak mentah sehingga dapat mengatasi tumpahan atau cemaran minyak di laut.

Adapun sejak tahun 2017, tim Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) juga telah melakukan penelitian pengembangan genetik bioprospeksi bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Bersama-sama dengan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) mereka telah mengembangkan tiga bioprospeksi mikroba yang bermanfaat bagi masyarakat untuk ketahanan pangan dan ekonomi di kawasan TNGC Kuningan, Jawa Barat.

 Di sisi lain, keanekaragaman hayati tumbuhan dan organisme laut Indonesia seperti perpustakaan besar sebagai sumber potensial untuk penemuan obat baru. Masteria Yunovilsa Putra, Kepala kelompok Pusat Penemuan dan Pengembangan Obat, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, menilai bahwa sekitar 70 persen wilayah lautan Indonesia merupakan sumber daya yang belum optimal dimanfaatkan.

Jenis tumbuhan laut seperti spons, soft coral, tunicate, dan algae sangat potensial untuk menjadi bioproduk farmasi maupun kosmetika. Diakui Masteria, sebagian besar kajian hasil alam laut Indonesia masih dilakukan oleh peneliti asing atau bekerja sama dengan peneliti Indonesia. Oleh karena itu, dukungan pemerintah, investasi oleh industri farmakologi, dan keahlian keilmuan riset sangat penting untuk penemuan produk alam laut baru oleh peneliti Indonesia.

Selama beberapa dekade terakhir, para peneliti berfokus pada penemuan obat dari herbal atau sumber tumbuhan. Penelitian termutakhir, misalnya, kandidat immunomodulator Covid-19 yang sudah diuji klinis untuk pasien Wisma Atlet Kemayoran. Ini merupakan obat fitofarmaka untuk menggenjot imunitas tubuh ini tinggal menunggu verifikasi dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Dua produk yang diuji klinis adalah Cordyceps militaris dan kombinasi ekstrak herbal alami Indonesia yang terdiri dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum), daun meniran (Phyllanthus niruri), sambiloto (Andrographis paniculata), dan daun sembung (Blumea balsamifera).

Keanekaragaman hayati adalah aset jangka panjang yang perlu terus dipelajari, dikaji, dan diteliti. Upaya LIPI maupun lembaga lainnya yang telah memanfaatkan biodiversitas untuk bioproduk melalui bioprospeksi maupun bioekonomi melalui produk berbahan dasar material hayati perlu terus dikembangkan. Masa depan Indonesia tergantung dari pemanfaatan keanekaragaman hayati ini.

 

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post